Prof Yudhie Haryono PhD
Menjadi Penggambar Terhebat Tentang Indonesia
Tahun 1972-1979, Pram terpaksa diizinkan rezim Soeharto untuk tetap menulis di penjara. Setelah akhirnya memperoleh pena dan kertas, Pram bisa menulis kembali hingga menghasilkan tetralogi (4) rangkaian novel sejarah yang kemudian semakin mengukuhkan reputasinya. Dua di antaranya adalah Bumi Manusia (1980) dan Anak Semua Bangsa (1980), mendapat perhatian dan kritikan setelah diterbitkan.
Saking hebohnya, pemerintah membredelnya. Sedang dua volume lainnya dari tetralogi ini, Jejak Langkah dan Rumah Kaca saat itu terpaksa dipublikasikan di luar negeri.
Karya ini menggambarkan secara komprehensif tentang masyarakat Jawa ketika Belanda masih memerintah di awal abad 20. Sebagai perbandingan dengan beberapa karya awalnya, karya ini ditulis dengan gaya bahasa naratif yang sederhana tetapi menohok dan subtansial. Apanya yang subtansial? Tentu perlawanannya. Bagi Pram, hanya dengan melawan, bangsa ini merdeka. Dan hanya dengan melawan, feodalisme dapat diruntuhkan. Jika kaum muda merasa dijajah kaum tua, satu-satunya cara adalah ”melawan.”
”Kita telah melawan, Nak Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya [h.405].” Demikianlah akhir drama dan dialog dalam Novel Bumi Manusia. Dan, dalam perlawanan, seringkali kita kalah. Melawan adalah alat dan bukan tujuan. Karena itu ketika tidak ada alat lainnya, hanya dengan melawan maka kehidupan akan didapatkan.
Melawan adalah cara untuk ”merendahkan mereka yang berkuasa dan menaikkan mereka yang terhina [h.646].” Begitu hipotesa Pram di akhir Novel Rumah Kaca. Melawan memang milik sedikit orang. Ia hanya dipunyai para pejuang dan pahlawan. Ia menjadi ciri kaum idealis dan ”kesejatian.” Jadi, ia langka dan agak susah dipahami. Terutama bagi ”yang menang dan berkuasa.” Bagi mereka selalu ada tanya, ”untuk apa melawan” jika kita merasa sudah mapan? Begitu susahnya kata dan perbuatan melawan, ia menjadi musuh bagi yang menggunakannya. Tapi, jangan berkecil hati. Perlawanan tak akan berhenti ketika keadilan belum menjadi bukti. Walau sekedar melawan dengan omongan. ”Ya Ma, kita sudah melawan. Biarpun hanya dengan mulut [h.536].” Inilah kalimat penutup Novel Anak Semua Bangsa.
Penggambaran bangsa kita yang kalah walau sudah melawan menjadi topik subtansial dari Pram. Istilah kerennya adalah, ”tidak semua perjuangan akan menghasilkan.” Sebab, perlawanan dipikirkan kaum cerdas, dilaksanakan kaum pemberani, ditunggangi kaum jahat dan dinikmati kaum licik. Saya kira, bagi para pejuang Indonesia yang ingin merdeka 100% harus sadar akan hal ini. Agar tak kecewa ketika gagal dan kalah bahkan dipenjara. Hadiahnya cuma ”panjang dikenang” oleh generasi berikutnya. Selebihnya, ia hanya cerita. Sebab karena hanya cerita, kita lihat hari ini kaum muda kehilangan perlawanan. Sebaliknya mereka jadi hamba atas apa saja. Sekaligus menegaskan bahwa bangsa kita secara umum adalah ”bangsa hamba sahaya. ”Hamba sahaya jelita, disiksa. Hamba sahaya jelata disetrika. Hamba sahaya berseragam dibunuh alutista.” Tetapi, para hamba sahaya ini masih ingin jadi hambanya hamba. Buktinya, kekuatan kaum muda hari ini terpuruk mentalitasnya dengan menjadi ”sekedar pekerja” atau tim sukses tanpa format yang jelas. Mereka serentak menjadi pagar ayu dan dayang-dayang yang tak malu mengemis plus tahu bahwa ”tidak ada perkaderan” dalam tradisi kita. Mereka tak berani ambil resiko seperti Soekarno dan Tan Malaka yang dipenjara. Padahal, tidak ada yang lebih berbahaya selain tidak adanya keberanian mengambil resiko kata Pep Guardiola, pelatih Klub Bercelona ketika mengantarkan klubnya juara piala Eropa 2009.
Kita memang kehilangan keberanian dan ketakutan terhadap resiko-resiko yang tak seberapa. Inilah awal mula kehancuran bangsa. Sebuah kehancuran karena berasal dari kaum muda yang tak melawan, yang tak punya idealisme.
Padahal, bagi Pram, kaum tua hanya satu kebetulan, sama sekali bukan sesuatu yang keramat. Kaum tua terlalu banyak pikiran, kurang tindakan. Kaum tua terlalu banyak larangan, terlalu banyak perintah. Kerana itu mereka sedikit sekali pemberontakan, terlalu kecil perlawanan. Bagi Pram, kita tak bisa berharap pada kaum tua. Pada kaum mudalah kita menaruh harapan. Bahwa kaum muda sampai hari ini belum memenuhi harapan kita, biarlah zaman yang menilainya. Zaman lah yang akan menjadi saksi, adakah kaum muda berani melawan atau sekedar menjadi pengemis di negeri ini!
Sejarah kemudian mencatat, karena perlawanan Pram pada penjajah [asing maupun lokal] maka enam buku lainnya disita oleh pemerintah dan hilang untuk selamanya. Sepeninggalnya, kita tahu bahwa Pram adalah pribadi yang kuat minatnya pada sejarah sehingga suka mengumpulkan berbagai artikel atau tulisan dari berbagai koran yang kemudian dikliping. Sekarang buku-bukunya harus dibaca anak-anak muda, apalagi karena dapat dilihat dan didapat di setiap toko buku dan perpustakaan di seluruh Indonesia.
Buat Indonesia, Pram telah mewariskan ”gambaran utuh” tentang apa yang harus dilakukan. Sebuah warisan tak ternilai yang harus segera diterjemahkan oleh kaum muda jika ingin rakyat selamat dari amok neo-kolonialisme.(*)