INDIE BANYUMAS
  • BERANDA
  • NASIONAL
  • HUKUM
  • POLITIK
  • EKONOMI
  • DUNIA
  • BANYUMAS RAYA
  • LAINNYA
    • CATATAN REDAKSI
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
INDIE BANYUMAS
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
INDIE BANYUMAS

PRAM: LENYAP YANG MENGHIDUPKAN KEMANUSIAAN (4)

PRAM: LENYAP YANG MENGHIDUPKAN KEMANUSIAAN (1)
Senin, 5 Mei 2025

Prof Yudhie Haryono PhD

Pram bagai potret seorang nabi, yang dihargai oleh bangsa lain tetapi dipenjara di negerinya sendiri oleh para penguasa yang pongah dan pendek umur. Sebaliknya, ia panjang umur walau sudah mati karena warisan buku baik kumpulan cerpen maupun novel. Hidupnya kenyang dengan berbagai pengalaman berupa perampasan hak dan kebebasan. Karena itu, waktunya habis di balik terali penjara, baik pada zaman revolusi kemerdekaan, zaman kebiadaban Soekarno, maupun rezim jahat Soeharto.

Waktu revolusi kemerdekaan masih berkobar, ia dipenjara di Bukit Duri Jakarta (1947-1949). Selanjutnya dijebloskan lagi oleh Soekarno karena buku Hoakiau di Indonesia yang ditulisnya. Sebuah buku yang berisi penentangan terhadap peraturan yang mendiskriminasi keturunan Tionghoa. Lalu, rezim Soeharto menangkapnya setelah pecah G30S-PKI, Pramoedya yang anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat [LEKRA]—onderbouw Partai Komunis Indonesia—ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru sampai tahun 1979.

Siksaan dan kekerasan adalah bagian hari-harinya di tahanan sehingga ia terpaksa kehilangan sebagian pendengarannya, karena kepalanya dihajar popor bedil. Bahkan setelah bebas ia masih dijadikan tahanan rumah dengan menjalani wajib lapor setiap minggu di instansi militer. Meskipun ia sudah ‘bebas,’ hak-hak sipilnya terus dibrangus, buku-bukunya dilarang beredar. Bahkan larangannya belum dicabut sampai hari ini.

Pemerintah telah mengambil tahun-tahun terbaik dalam hidupnya, pendengarannya, , rumahnya dan tulisan-tulisannya. Waktunya terus menerus diawasi oleh intel-intel yang membatasi geraknya. Karena itu, tidak seperti Nelson Mandela, ia menolak untuk memaafkan pemerintah yang telah mengambil banyak hal dalam kehidupannya. Ia khawatir bila mudah memaafkan, sejarah akan segera dilupakan. Ia menekankan pentingnya mengetahui sejarah seseorang sehingga orang lain tidak mengulangi kesalahan yang sama di tahun-tahun yang akan datang.

Pertanyaan banyak orang pada Pram adalah, kenapa ia begitu kuat? Siapa yang mengajari dan sangat berpengaruh dalam hidupnya? ”Hidup di Indonesia yang tak berperikemanusiaan tentu harus kuat dan tabah. Jika tidak, kita akan ditindasinya bahkan dilenyapkan, begitu kata Pram.” Dan, ternyata bagi Pram, ibulah yang memberikan pengaruh kuat dalam pertumbuhannya sebagai individu. Saidah, nama ibu Pram adalah sumber inspirasi. Pramoedya mengatakan bahwa semua yang tertulis dalam bukunya terinspirasi oleh ibunya. Karakter kuat seorang perempuan dalam karangan fiksinya didasarkan pada ibunya, “seorang pribadi yang tak ternilai, api yang menyala begitu terang tanpa meninggalkan abu sedikitpun.”

Ketika Pramoedya melihat kembali ke masa lalu, ia melihat “revolusi Indonesia diwujudkan dalam bentuk tubuh perempuan: ibunya.” Meskipun karakter ibunya kuat, fisik ibunya menjadi lemah karena TBC dan meninggal pada umur 34 tahun, waktu Pramoedya berumur 17 tahun.

Setelah ibu tiada, Pram dan adiknya menetap di Jakarta dan masuk ke Radio Vakschool. Pram dilatih menjadi operator radio yang ketika Jepang datang menduduki, ia tidak pernah menerima sertifikat kelulusannya. Selanjutnya, Pramoedya bersekolah hingga kelas 2 di Taman Dewasa, sambil bekerja di Kantor Berita Jepang Domei. Ia belajar mengetik lalu bekerja sebagai stenografer dan jurnalis sekaligus. Pada tahun 1945, Pram bergabung dengan para nasionalis melawan Belanda. Lalu, ia bekerja di radio dan membuat majalah berbahasa Indonesia sebelum ditangkap dan ditahan oleh Belanda tahun 1947. Pada tahun-tahun inilah—selama dua tahun di penjara Belanda (1947-1949)—Pram menulis novel pertamanya, Perburuan (1950).

Setelah Indonesia merdeka, tahun 1949, Pramoedya menghasilkan beberapa novel dan cerita singkat yang membangun reputasinya. Novel Keluarga Gerilya (1950) menceritakan sejarah tentang konsekuensi tragis dari menduanya simpati politik dalam keluarga Jawa selama revolusi melawan pemerintahan Belanda. Cerita-cerita singkat yang dikumpulkan dalam Subuh (1950) dan Pertjikan Revolusi (1950) ditulis semasa revolusi. Sedangkan Tjerita Dari Blora (1952) menggambarkan kehidupan daerah Jawa ketika Belanda masih memerintah. Sketsa dalam Tjerita Dari Djakarta (1957) menelaah ketegangan dan ketidakadilan yang Pram rasakan dalam masyarakat Indonesia setelah merdeka. Dalam karya-karya awalnya ini, Pram mengembangkan gaya prosa yang kaya akan bahasa Jawa sehari-hari dan gambar-gambar dari budaya Jawa Klasik.

Kecakapannya dalam menulis buku juga dikarenakan Pram bekerja sebagai editor di Departemen Literatur Modern Balai Pustaka. Sejarah kemudian menulis bahwa akhir tahun 1950, Pramoedya bersimpati kepada PKI, dan setelah tahun 1958 ia ditentang karena tulisan-tulisan dan kritik kulturalnya yang berpandangan kiri. Tahun 1962, ia dekat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat yang disponsori oleh PKI yang kemudian dicap sebagai organisasi “onderbow” atau “mantel” PKI.

Di Lekra ini, Pram jadi anggota pleno dan wakil ketua Lembaga Sastra. Pram juga pendiri Akademi Multatuli yang disponsori LEKRA. Dari sinilah bibit penjara selalu menjenguknya. Dan, sekali waktu keluar dari penjara karena soal Hoakiau itu, Profesor Tjan Tjun Sin memintanya “mengajar” di Fakultas Sastra Universitas Res Publica milik Baperki, yang sekarang diubah namanya menjadi Universitas Trisaksi.

Ajakan ini sempat membuatnya merasa tidak enak karena SMP saja Pram tidak lulus dan belum punya pengalaman dalam mengajar. Untuk itu, Pram mengaku menggunakan caranya sendiri dalam mengajar. Setiap mahasiswa ia wajibkan mempelajari satu tahun koran. Hal ini karena koran adalah penyuplai informasi terkini yang hadir dengan rajin. Koran adalah jendela pengetahuan terbaru dan potret utama sebuah bangsa. Setiap tahun ada sekitar 28 mahasiswa yang ia beri tugas, sehingga Perpustakaan Nasional menjadi penuh dengan mahasiswanya.

Dalam perjalanannya nanti, dari para mahasiswa-mahasiswi yang sebagian terbesar WNI keturunan Tionghoa, ia menerima sejumlah informasi tentang perlakuan militer terhadap keluarga mereka yang tinggal di Jawa Barat. Perlakuan yang sangat menyakitkan dan tidak manusiawi. Lalu, Pram melawan. Ia menuliskan perlawanan ini dalam berbagai kesempatan. Intinya satu, republik ini bukan milik satu dua suku. Ia milik semua suku. Milik anak semua bangsa yang tinggal dan mau berkarya demi Indonesia.

Tahun 1965-an, Soeharto jadi presiden kedua dengan dukungan Amerika yang tidak suka Soekarno bersekutu dengan Cina. Mengikuti cara Amerika, Soeharto mulai membersihkan PKI dan semua orang yang berafiliasi dengan komunis. Soeharto memerintahkan hukuman massal, tekanan masal dan memulai Rezim Orde Baru yang disokong militer. Akibatnya, Pram ikut dipenjara setelah kudeta yang dilakukan komunis tahun 1965 selama 15 tahun.

Alasan pengadilan memenjarakannya adalah karena perlawanannya dengan kritis pada Soeharto dan (anggapan) dukungannya pada Soekarno.
Padahal, rezim Soekarno juga menghukumnya. Alasan pengadilan waktu itu ada dua. Pertama, karena kritikannya terhadap pemerintahan Soekarno, khususnya ketika tahun 1959 dikeluarkan dekrit yang menyatakan tidak diperbolehkannya pedagang Cina untuk melakukan bisnis di beberapa daerah. Ketiga, karena artikel yang dikumpulkan menjadi buku berjudul HoaKiau di Indonesia. Dalam buku ini, Pram mengkritik cara tentara dalam menangani masalah yang berkaitan dengan etnis Tionghoa. Buku ini dengan sangat jelas mengkritik cara pemaknaan republik yang timpang dan rasis.

ShareTweetKirimkan
Sebelumnya

PRAM: LENYAP YANG MENGHIDUPKAN KEMANUSIAAN (3)

Selanjutnya

PRAM: LENYAP YANG MENGHIDUPKAN KEMANUSIAAN (5-Habis)

Selanjutnya
PRAM: LENYAP YANG MENGHIDUPKAN KEMANUSIAAN (1)

PRAM: LENYAP YANG MENGHIDUPKAN KEMANUSIAAN (5-Habis)

55 Tahun Menabung, Perempuan Penjual Sate di Mandailing Natal  Akhirnya Berangkat Haji

55 Tahun Menabung, Perempuan Penjual Sate di Mandailing Natal Akhirnya Berangkat Haji

Tentang Kami / Redaksi
Pedoman Media Siber / Independensi & Donasi

© 2021 indiebanyumas.com

Tentang Kami / Redaksi / Pedoman Media Siber / Independensi & Donasi

© 2021 indiebanyumas.com
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
  • BERANDA
  • NASIONAL
  • HUKUM
  • POLITIK
  • EKONOMI
  • DUNIA
  • BANYUMAS RAYA
  • LAINNYA
    • CATATAN REDAKSI

© 2021 indiebanyumas.com