Berharap Mas Nadim Makarim membaca. Kalau pun tidak, beberapa teman yang sekarang menjadi pejabat, membaca tulisan ini sambil tersenyum masam. Semoga mereka tidak mencibir sambil bergumam, “idealisme saja tidak cukup untuk hidupmu..”
Entah mahluk apa namanya yang membuat paranoia luar biasa di negeri ini. Dua tahun anak-anak kami harus betah di rumah. Belajar dengan gadget dan kuota. Dengan kemarahan ibu, mengalibi ketidaktahuannya ketika harus membantu menyelesaikan tugas anak-anak. Lebih akrab dengan google, biang tahu segala.
Guru idealis, “Dengan tatap muka, yang diajarkan dua-tiga hari lalu saja anak didik sudah lupa, ini dengan daring.” Tak jelas benar berapa persen ilmu yang diajarkan kemudian masuk ke otak. Sementara guru lain, tidak terlalu peduli benar dengan hasil. Yang penting penghasilan masih tetap. Berkurang pun sedikit. Setidaknya bagi para guru wanita, pekerjaan di rumah lebih “terselesaikan”.
Bosan dan jenuh yang luar biasa.
Lalu di penghujung 2021, ada imbauan. Tidak ada liburan Natal dan tahun baru. Semua gagap dan terhenyak. Anak didik yang biasanya menerima buku laporan hasil belajar di bulan November, atau paling telat pertengahan Desember, kali ini diterimakan di awal Januari. Eh, buku rapot beberapa semester belakangan, tak jelas benar parameternya. Atau jangan-jangan hasil mengarang indah.
Libur Desember ditiadakan, digantikan dengan pembelajaran semester genap. Memaksakan-dipaksakan. Toh sebetulnya kalaupun mengikut kebiasaan, tidak akan ada liburan masal seperti yang dihawatirkan. Orang tua kebanyakan terseok-seok memenuhi kebutuhan primer. PHK atau pengurangan gaji karena efek domino dari keterpurukan ekonomi nasional. Sedikit saja yang masih established usahanya.
Pengusaha dan buruh, yang di triwulan terakhir sudah mulai bisa bernafas, dengan PPKM jilid yang kesekian nanti, akan kembali mati-suri. Pemerintah sudah tak mampu lagi memberikan aneka bantuan. Ini ambigu akut. Uang rakyat disalurkan untuk kepentingan rakyat, seolah satu kebajikan yang luar biasa dari para penguasa.
Dan sebagian warga negara, tidak tahu persis kapan semua ini berakhir. Hanya bisa berharap cemas, besok masih bisa bernafas dan mendapatkan rejeki.
Rangga Sujali