Jagra angkara winangun
Sudira marjayeng westhi
Puwara kasub kawasa
Sastraning jro Wedha muni
Sura dira jayaningrat
Lebur dening pangastuti
Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti, adalah bagian dari salah satu bait “Pupuh Kinanthi” dalam “Serat Witaradya”, gubahan Raden Hangabehi Ranggawarsita (1802-1873). Pujangga besar Kasunanan Surakarta.
Baris pertama sampai ketiga, menggambarkan orang karena keberanian dan kesaktiannya, ia tidak pernah terkalahkan. Hingga pada masanya, dia tak lagi mampu memegang kekuasaan. Karena amanah yang dia terima, justeru dikerjakan dengan nafsu angkara.
Pada baris keempat hingga keenam, bahwa menurut buku ilmu pengetahuan dan kitab kehidupan, sifat angkara tersebut dapat dikalahkan dengan kelembutan.
Alkisah, diceritakan menjelang akhir perang Bharatayudha, Yudistira dipasang untuk melawan Prabu Salya yang sakti mandraguna. Prabu Salya memiliki ajian Candrabhirawa. Ajian ini mempersonifikasikan sosok raksasa yang kalau dibunuh, maka dia akan hidup lagi, bahkan jumlahnya bertambah berlipat-ganda.
Bhima dan Arjuna sudah kewalahan. Dihantam memakai Gada Rujakpala atau dipanah, tidak mati, malah bertambah banyak. Akhirnya Candrabhirawa berhadapan dengan Yudhistira. Raja yang dikenal berdarah putih. Dia tak pernah marah, apalagi berperang. Raksasa-raksasa Candrabhirawa tak dilawan. Bahkan didiamkan saja. Dan raksasa itu kembali ke tuannya.
Ada kalanya kita muak dan marah melihat kondisi dan tatanan negeri yang kian silang-sengkarut. Dengan kesadaran penuh, bahwa ada tugas yang belum terselesaikan. Bahwa ada aneka penyimpangan, itu adalah tugas untuk penataan. Jika ada pageblug berkepanjangan, itu adalah tugas untuk memperkuat diri.
Sekuat dan sehebat apa pun kita, akan kembali ke sangkan paraning dumadi. Tak ada guna adigang, adigung, adiguna. Lerem, sidhem, jenjem, ayem.
Halus. Itulah Jawa, Jawi, Jiwa, Jinawi. Penuh kesantunan, empati, dan welas asih.
Sura adalah waktunya kita kita menata diri
Rangga Sujali