INDIE BANYUMAS
  • BERANDA
  • NASIONAL
  • HUKUM
  • POLITIK
  • EKONOMI
  • DUNIA
  • BANYUMAS RAYA
  • LAINNYA
    • CATATAN REDAKSI
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
INDIE BANYUMAS
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
INDIE BANYUMAS

Kurva

Senin, 28 Juni 2021

Setelah naik secara eksponensial sejak pekan terakhir Mei, kurva Covid-19 mudah-mudahan bisa menurun secara cepat pada awal Juli nanti. Fast grow, decay fast. Begitulah sunatullah pergerakan virus. Dia tak akan naik terus dengan kurva terjal sampai merayapi semua lorong di semua RT se-Jawa-Bali, baru berhenti. Bukan begitu karakternya.

Dalam perkembangannya, virus pandemi yang menular dari orang, ke orang punya pakem sendiri. Dia bergerak dalam kurva terjal, mirip gambar nasi tumpeng. Terjal ketika mendaki dan terjal pula saat beringsut turun.

Teori bakunya, ketika kasusnya melonjak, gelombang virus itu pun menyebarkan percikan-percikan kecil koloninya ke lebih banyak orang. Jumlah yang terpapar virus itu jauh lebih banyak dari mereka yang teregrister sebagai reaktif dalam tes swab antigen atau positif menurut uji PCR. Bahkan, lebih besar dari jumlah semua itu ditambah yang probabel dan kontak erat.

Lantaran tak cukup besar dosis paparannya, justeru banyak orang malah seperti mendapat antigen gratis, yang dapat menstimulasi antibodi. Jadi, akan terbentuk herd immunity di sekitar pelintasan virus.

Titik kulminasi terjadi ketika laju transmisi itu sebanding dengan herd immunity yang bisa terbentuk. Virus semakin sulit menemukan inang baru, dan karenanya laju transmisinya pun menurun. Bahkan, menurun tajam, secara eksponensial. Begitu yang disampaikan Zoe McClaren, pakar epidemiologi dari University of Maryland, dalam opininya di NYT (New York Times), April 2021.

Maka, kurva penambahan kasus hariannya pun berbelok arah, menurun secara terjal eksponensial. Pola itu yang terjadi pada tsunami Covid-19 di India. Fast grow, decay fast. Pola yang sama terjadi pula di Amerika Serikat. Bedanya, di India kurva naik-turun itu tiga bulan saja, sedangkan di AS bisa lima bulan.

Kondisi Indonesia lebih mirip dengan India. Utamanya, ditinjau dengan densitas populasinya, serta pola mobilitasnya. Mobilitas masyarakat di India, juga di Indonesia, banyak dipengaruhi oleh sektor informal yang menjadi sumber penghidupan utama penduduknya (sekali di-lockdown modal kerja mereka amblas).

Mengacu ke tsunami Covid di India, kenaikan eksponensial itu hanya terjadi 5-6 minggu saja. Hampir serentak negara-negara bagian yang menjadi episentrum Covid-19 di gelombang 1 (September 2020) serta merta meledak kembali, seperti di Maharstra, Gujarat, Madyapradest atau Telangana. Munculnya varian baru Dela B-1617.2 jelas menjadi booster yang membuat lonjakan itu menjadi eksponensial.

Kondisi itu mirip di Indonesia. Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DKI Jakarta, saat ini melonjak bersamaan. Ditambah pula Daerah Istimewa Yogyakarta dan Banten. Beruntung, Jawa Timur lebih terkendali, setelah potensi luberan dari Bangkalan bisa direm. PPKM Mikro, dengan segala kekurangannya, juga memberikan kontribusi. Di google mobility tampak mobilitas warga Indonesia, utamanya Jawa, menurun secara signifikan.

Dengan demikian, lonjakan Covid-19 di Indonesia saat ini, utamanya di Jawa, diharapkan tidak lebih dari 5-6 minggu saja. Artinya, pada awal Juli titik kulminasi sudah tercapai, dan setelah itu kurvanya akan menurun.

Pandangan optmistis ini juga mengacu pada fakta, bahwa secara umum vaksinasi di Indonesia sudah lebih baik katimbang ketika tsunami Covid-19 melanda India (Maret-Mei). Vaksinasi di Indonesia saat ini sudah menjangkau 24 juta orang (9% populasi) dengan 4,6% populasi sudah divaksin lengkap, genap dua suntikan.

Di India, ketika itu vaksinasi dosis lengkap belum sampai 3%. Tak berlebihan berharap awal Juli, kurva Covid di Indonesia sudah menurun.

Kalau pun nanti lonjakan sudah mereda, ancaman lonjakan berikutnya masih sangat terbuka. Maka, vaksinasi menjadi intervensi yang penting untuk mempercepat terbangunnya herd imunnity. Tidak kalah pentingnya adalah langkah-langkah pencegahan 5M + 3T yang terus-menerus.

Namun, semua kalkulasi itu bisa buyar bila muncul klaster dengan Varian Delta, utamanya di daerah potensial seperti Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Sumatera Utara, Riau dan Jawa Timur. Bila itu terjadi, pola kurvanya bisa seperti Amerika, lima bulan lamanya.

Skenario itu bisa berubah kalau mobilitas warga juga tak terkendali. Keramaian yang mengumpulkan massa dalam jumlah besar dan berasal dari berbagai daerah terus terjadi, semisal demo “Bela HRS” di Jakarta Timur. Jika aksi semacam itu berhasil membuahkan klaster baru, maka jelas klaster baru itu menjadi new trajectory bagi sebaran virus ke berbagai daerah. Hal serupa juga bisa terjadi lewat panggung hiburan, tempat rekreasi dan event olah raga.

Uniksitas di Indonesia kerap tidak Hitam-Putih. Banyak anasir pendukung sebab-akibat yang lebih mirip siluman. Tidak terdeteksi tapi ada angkanya. Ditambah dengan akurasi data dan fakta lapangan yang manipulatif. Buram melihat data angka konkret.

Pandemi masih gentayangan. Semua pihak harus menahan diri. Waktunya negara hadir menyelesaikan problematik tanpa membuat paranoia. Mengulurkan kedua tangan melupakan pundi pribadi. Belajar jujur tak serba dipolitisir.

Penulis: Rangga Sujali

ShareTweetKirimkan
Sebelumnya

Covid Meningkat, Dindukcapil Banyumas Tak Melayani Tatap Muka

Selanjutnya

Kasus Covid Tembus 10 Ribu Orang di Kebumen, Jumlah Meninggal Naik Tiga Kali Lipat

Selanjutnya

Kasus Covid Tembus 10 Ribu Orang di Kebumen, Jumlah Meninggal Naik Tiga Kali Lipat

Harusnya Masuk Kemarau, Gelombang Rosby Picu Hujan di Bulan Juni

Tentang Kami / Redaksi
Pedoman Media Siber / Independensi & Donasi

© 2021 indiebanyumas.com

Tentang Kami / Redaksi / Pedoman Media Siber / Independensi & Donasi

© 2021 indiebanyumas.com
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
  • BERANDA
  • NASIONAL
  • HUKUM
  • POLITIK
  • EKONOMI
  • DUNIA
  • BANYUMAS RAYA
  • LAINNYA
    • CATATAN REDAKSI

© 2021 indiebanyumas.com