Sepak Bola, Persatuan dan Soekarno
Dalam pandangan JJ Rizal, sejarawan tersohor Indonesia, sepak bola pada awal kemunculannya di Indonesia, -saat itu Hindia Belanda- langsung disambut gempita oleh masyarakat. Sepak bola dengan cepat ditangkap dan dimainkan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia pada awal dekade 1900-an. (bola.net)
Menurut JJ Rizal, sepak bola sejak saat itu menjelma sebagai paham baru, sebagai isme baru ditengah munculnya isme-isme lainnya. Di zaman ideologi tersebut, sepakbolaisme bersaing berebut tempat dan pengaruh di masyarakat dengan idiologi seperti nasionaslisme, sosialisme, fasisme, dan komunisme.
Sebagai olahraga global, sepak bola sangat menarik bagi tokoh-tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tak sekedar memainkan, mereka juga menjadikan sepak bola sebagai alat, sebagai bahasa untuk membentuk persatuan, atau singkatnya sepak bola untuk persatuan. Ada beberapa tokoh nasional yang dikenal menjadi penggila bola, salah satunya Bung Karno. Selain Sang Proklamator, Bung Hata juga banyak diceritakan aktif bermain di lapangan meski tak dijalani sebagai pemain profesional. Lalu ada Tan Malaka, Maladi, Muhammad Husni Thamrin dan Soeratin Sosrosoegondo. Nama terakhir ini menjadi paling penting dalam sejarah sepakbola Indonesia. Soeratin memainkan peran penting di balik berdirinya PSSI pada 1930. Dialah orang pertama yang diberi mandat untuk menjadi Ketua Perstuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI).
Soeratin, pada masa dia memimpin PSSI, berusaha membangun sepak bola Indonesia sebagai kekuatan yang mampu bersaing di tingkat internasional. Dia juga yang sempat membuat hubungan cukup memanas antara bumi putera dengan Nederlandsche Indische Voetbal Unie (NIVU), organisasi sepak bola milik Belanda yang ketika itu masih menduduki Indonesia (sebelumnya bernama NIVB), terkait pengiriman wakil ke Piala Dunia 1938.
Bung Karno adalah sosok yang begitu yakin bahwa Sepakbola adalah sarana yang paling tepat dalam upaya mengekpresikan persatuan karena paling digemari masyarakat, dan sudah pasti melibatkan banyak massa. Upaya Bung Karno untuk memanfaatkan sepak bola sebagai sarana persatuan sudah dimulai sejak era pergerakan nasional. Hanya berselang beberapa saat setelah Bung Karno keluar dari penjara Suka Miskin di Bandung, pada tahun 1932, ia langsung didapuk untuk membuka pertandingan final kompetisi PSSI. Saat itu PSSI sedang menggelar kompetisi yang disebut Stedenwerd II di Jakarta.
Sebelum laga antara Voetbal Indonesia Jakarta (VIJ) versus Persatuan Sepakbola Indonesia Mataram (PSIM), Sukarno didaulat menyampaikan orasi politik sekaligus sepakan pertama. Dalam catatan buku peringatan 60 tahun PSSI, bertempat di Lapangan Trivelli, masyarakat berduyung-duyung untuk menyaksikan pertandingan yang mempertemukan Voetbal Indonesia Jakarta (VIJ) melawan Persatuan Sepakbola Indonesia Mataram (PSIM).
Namun, tentu saja sebagian besar lainya juga tertarik untuk menyaksikan idola mereka, Bung Karno, yang akan berpidato dan melakukan tendangan pertama pada pertandingan ini. Pasca kejadian tersebut, Dalam konges PSSI yang ke-2, 14-16 Mei 1932, PSSI secara resmi menetapkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi organisasi. Sukarno menyambut keputusan itu dengan sukacita.
Jauh sebelum hingar bingar sepakbola di Hindia Belanda, masa kecil Sukarno di Mojokerto tak banyak bersentuhan dengan permainan bola. Sebagai ‘anak desa’, ia justru lebih banyak bermain jangkrik, sumpit, memanjat pohong, dan adu gasing.
Saat itu, sepak bola mulai populer di Hindia-Belanda, termasuk di kalangan bumiputera. Awalnya, Sukarno tak begitu menggandrungi permainan yang melibakan dua kelompok dengan masing-masing kelompok beranggotakan 11 pemain tersebut.
“Ada permainan di mana seorang anak bangsa Indonesia dari jamanku tidak dapat menunjukkan keahliannya. Misalnya perkumpulan sepak bola,” kenang Sukarno dalam otobiografinya yang ditulis oleh Cindy Adams, Bung Karno : Penyambung Lidah Rakyat.
Sejatinya bukan karena tidak ada bola ketika dia kecil sebagai media untuk bermain. Soekarno kecil kecil pernah ikut klub sepak bola. Tapi dia lakoni tidak lama lantaran tak beah dengan ejekan anak-anak keturunan Belanda. Kala itu, diskriminasi dirasakan oleh penduduk pribumi atas orang-orang Eropa terutama Belanda. Anak-anak keturunan Belanda bahkan terang-terangan enggan bermain dengan bocah bumi putera. Masa itu,
tidak jarang tertempel tulisan “Verboden voor Honden en Inlander” atau “Dilarang Masuk untuk Pribumi dan Anjing” di setiap pintu lapangan sepak bola. Bagi Soekarno kecil, kenyataan itu tidak bisa diterima oleh rakyat pribumi.
Ketika Soekarno beranjak muda, dan melalui proses menjalani hidup sebagai seorang aktivis pergerakan, kecintaanya kepada sepakbola kembali tumbuh. Terlebih lagi dirinya mengetahui sepakbola adalah hal penting dalam mensukseskan pergerakan nasional. Soekarno sudah tidak ragu dengan Sepakbola, cita-citanya unuk mempersatukan bangsa Indonesia idak akan lama lagi bakal terwujud. Sang Proklamator pun gerak cepat. Bahkan usai Indonesia merdeka, perhatian Sukarno pada sepak bola tidak surut. Sempat berdiri organisasi untuk mengurusi olahraga, yaitu Gerakan Latihan Olahraga (Gelora), yang kelak berganti menjadi Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI)–cikal bakal KONI. Tahun 1951, begitu perang fisik usai, sepak bola kembali menggeliat. Sebuah pertandingan sepak bola digelar di lapangan Bataviase Voetbal Club (BVC). Sukarno didaulat untuk memberi sepakan pertama untuk menandai dibukanya pertandingan.
Tahun itu juga, Indonesia mengirim Timnas di Asian Games pertama di New Delhi, India. Hanya ada negara yang berlaga di cabang sepak bola: India, Indonesia, Burma, Iran, Jepang, dan Afghanistan. Bung Karno selalu memahami kondisi situasi tanah air, juga perhatiannya terhadap dunia terutama cita-cita persatuan yang bukan saja untuk bangsa Indonesia namun untuk seluruh negara di dunia. Baginya, nasionalisme Indonesia adalah taman sari dari nasionalisme negara-negara lain di dunia.
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Soekarno sadar, sepakbola bisa menjadi mercusuar untuk mengenalkan Indonesia pada dunia. Sukarno makin bersemangat untuk memajukan sepak bola Indonesia. Tahun 1954, Indonesia mendatangkan mantan pemain timnas Yugoslavia, Antun “Toni” Pogacnik. Di tangan pelatih bertubuh tinggi langsing itu, cikal bakal timnas Indonesia dilatih teknik-teknik sepak bola modern.
Sepakbola, bagi Bung Karno tak hanya sekadar olahraga. Melaluinya, pesan persatuan dunia bisa tersampaikan, sebagaimana cita-citanya.
H Bambang Pudjianto