INDIE BANYUMAS
  • BERANDA
  • NASIONAL
  • HUKUM
  • POLITIK
  • EKONOMI
  • DUNIA
  • BANYUMAS RAYA
  • LAINNYA
    • CATATAN REDAKSI
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
INDIE BANYUMAS
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
INDIE BANYUMAS

Catatan Bulan Bung Karno (VIII)

Kamis, 17 Juni 2021


Mengetuk Pintu Langit, Memohon Doa Kepada Sang Pencipta

‘Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib bangsa dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya’.

Demikian Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mengutip apa yang disampaikan Presiden pertam RI dalam pidato singkat sebelum membacakan Teks Proklamasi pada 17 Agustus 1945. Itu disampaikan Megawati yang juga putri dari Sang Proklamator ketika menyatakan langkah tepat yang ditempuh Presiden Joko Widodo ketika membentuk membentuk Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), beberapa waktu lalu.

Megawati menyebut teknologi kini berkembang ke arah yang revolusioner. Ia mencontohkan ada rekayasa gentika, atomik, teknologi informasi, hingga realita virtual. Dengan begitu, mengintegrasikan seluruh lembaga pengembangan dan riset ke BRIN adalah langkah tepat terlebih ketika menempatkan Pancasila sebagai tonggak eksistensi seluruh strategic policy dari BRIN.

Megawati punya harapan besar BRIN akan mampu bekerja untuk mempercepat Indonesia mewujudkan cita-cita berdikari di bidang ekonomi. Megawati tegas, tanpa berdikari, sulit bagi negara besar seperti Indonesia untuk berdaulat di bidang politik.

Megawati mengatakan semangat percaya pada kekuatan sendiri ini bisa menjadi kekuatan bangsa. Ia mengatakan dengan adanya BRIN, maka seluruh kerja strategis riset dan inovasi ditujukan pada empat hal pokok, yakni manusia, flora dan fauna, serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tepat bagi kemajuan bangsa.

Bulan ini, kita memang harus terus menyampaikan kepada publik akan pentingnya penghargaan terhadap Bung Karno dengan menyebut sebagai Bulan Bung Karno agar supaya kaum muda juga mengetahui gagasan dan ide-ide bapak bangsa dalam memperjuangkan Republik Indonesia. Bahwa Bung Karno, bukan saja seorang tokoh yang hanya meninggalkan warisan perjuangan melawan imperialisme sejak masih muda, tetapi juga pemikiran-pemikiran beliau akan masa depan bangsa Indonesia jauh ke depan.

Berdikari (Berdiri di atas Kaki Sendiri) yang dituangkan dalam konsep Trisakti -nya. Berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Trisakti ini adalah bangunan dan corak ideal masa depan Indonesia yang harus diperjuangkan terus-menerus melalui proses dialektika yang dinamis dengan Pancasila sebagai landasan filosofisnya dan Pasal 33 UUD 1945 sebagai pedoman operasionalnya.

Vivere Pericoloso, ada yang menyebutnya Tahun Vivere Pericoloso (Tavip), judul pidato Presiden Sukarno pada 17 Agustus 1964 tentang Trisakti itu, adalah jawaban dari persoalan yang akan tetap relevan untuk Bangsa Indonesia. Bung Karno sudah menganalisa jauh-jauh hari bahwa menyerahkan seluruh mekanisme ekonomi kepada mekanisme pasar, seolah pasar netral dan mengatur dirinya sendiri, tidak diatur oleh kepentingan korporasi, maka yang terjadi adalah ekonomi kerakyatan dan koperasi menjadi haram karena tidak sesuai dengan mekanisme pasar. Lalu muncul gerakan memperlemah peran negara seminimal mungkin. Negara hanya menyiapkan regulasi dan keamanan lalu lintas modal, sementara fungsi sosial negara dihapuskan.

Semua ciri-ciri dari neoliberalisme inilah yang ditentang Bung Karno karena menciptakan kediktatoran korporasi secara global atas umat manusia dan menghancurkan lingkungan hidup secara masif. Neoliberalisme jelas sangat berseberangan dengan konsepsi Sukarno tentang sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Neoliberalisme menghancurkan batas-batas nasional demi melicinkan jalan ekspansi korporasi. Neoliberalisme juga sangat bertentangan dengan konsepsi Sukarno tentang Trisakti: berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkarakter secara budaya.

Karena Trisakti Sukarno adalah antitesa dari neoliberalisme maka pencarian ideologi perlawanan atas neoliberlaisme dapat dikembalikan kepada gagasan-gasasan dasar dari Trisakti. Sebuah ideologi perlawanan atas neoliberalisme yang diciptakan oleh Sukarno sesuai dengan kondisi historis, sosiologis dan budaya bangsa Indonesia. Lalu mengapa Tri Sakti Bung Karno penting diwujudkan? Karena jelas gagasan Bung Karno itu relevansinya tidak pernh usang ketika hingga detik ini bangsa Indonesia masih menghadapi isu-isu kebangsaan strategis. Soal sumber kekayaan alam yang belum terkelola secara baik, ideologi bangsa yang saat ini mulai tergerus dengan adanya rongrongan terhadap Pancasila dan UUD 1945, sosial budaya yang mulai luntur dengan berbagai pengaruh budaya asing yang dapat merusak budaya bangsa Indonesia dan pertahanan keamanan yang belum sepenuhnya kokoh karena degradasi nasionalisme.

“Negara Indonesia dalam bahaya. Memang bahaya ini adalah satu fase, satu tingkat, dalam usaha kita mendirikan satu negara yang merdeka. Justru oleh karena proklamasi kemerdekaan kita adalah satu kejadian yang tidak konstitutionil, justru oleh karena tindakan kita memerdekakan Indonesia adalah satu tindakan yang revolusioner, maka tidak boleh tidak, Negara Indonesia harus melalui satu fase ‘dalam bahaya’. Tidakkah selalu saya sitirkan ucapan, bahwa tak pernah sesuatu kelas melepaskan kedudukannya yang berlebih dengan sukarela? – Revolusi bukanlah sekadar satu kejadian belaka, bukanlah sekadar satu ‘gebeurtenis’. Revolusi adalah satu proses. Puluhan tahun kadang-kadang, berjalan proses itu. – Pasang-naik dan pasang-surut akan kita alami berganti-ganti, pasang-naik pasang-surut itulah yang dinamakan iramanya revolusi. Tetapi gelora samudera tidak berhenti, gelora samudera berjalan terus!” kata Bung Karno dalam Tavip kala itu, penuh semangat.

Bung Karno melanjutkan, sebagai syarat mutlak terjadinya revolusi ada tiga yaitu romantik, dinamik dan dialektik. Ketiga syarat ini haruslah bergemuruh di setiap hati rakyat Indonesia. Bukan hanya bergemuruh di dalam dada sang pemimpin, sebab Bung Karno beralasan bahwa tanpa kekuatan rakyat tidak mungkin mampu melawan kekuatan subversif yang sangat kencang di masa tersebut.

“Karena itu, maka kita harus memasukkan romantik, dinamik dan dialektik revolusi itu dalam dada kita semua. Kita pertumbuhkan, kita gerakkan, kita gemblengkan dalam dada kita semua, sampai ke puncak-puncaknya kemampuan kita, agar revolusi kita dan revolusi umat manusia dapat bergerak-terus, menghantam dan membangun terus, mendobrak segala rintangan yang direncanakan dan dipasangkan oleh pihak imperialis dan kolonialis.”

Tetapi, ada yang sangat menarik dari Pidato vivere pericoloso dimana ketika Bung Karno secara tegas dan gamblang menyebutkan dirinya tidak akan pernah melawan kekuatan Tuhan. Ketegasan itu pernah ia sampaikan dalam pidatonya di tahun 1962 di hadapan sejumlah ulama PBNU.

“Ketuk pintu langit memohon doa dari Sang Pencipta. Saya tidak berani Vivere Periscoloso terhadap Allah. Saya akhiri pidato ini, karena sudah berkumandang adzan sholat Jumat. Saya hanya takut kepada Allah!”

Penulis: H Bambang Pudjianto

ShareTweetKirimkan
Sebelumnya

Rencana Uji Coba Angkutan Air di Halte Sungai Serayu Dimulai 20 Juni

Selanjutnya

Mengejar Asa Untuk Tercapinya Rasa Keadilan di Banyumas

Selanjutnya

Mengejar Asa Untuk Tercapinya Rasa Keadilan di Banyumas

Kecelakaan Maut Tronton Vs Motor di Maos, Pelajar Perempuan Tewas Seketika dan Satu Luka Parah, Begini Kronologinya

Tentang Kami / Redaksi
Pedoman Media Siber / Independensi & Donasi

© 2021 indiebanyumas.com

Tentang Kami / Redaksi / Pedoman Media Siber / Independensi & Donasi

© 2021 indiebanyumas.com
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
  • BERANDA
  • NASIONAL
  • HUKUM
  • POLITIK
  • EKONOMI
  • DUNIA
  • BANYUMAS RAYA
  • LAINNYA
    • CATATAN REDAKSI

© 2021 indiebanyumas.com