Prof Yudhie Haryono PhD
CEO Nusantara Centre
Pada mulanya soal serakah. Lahirlah penjajah. Jalurnya laut dan aksiologinya perampokan besar-besaran pada empat hal: rempah, herbal, emas dan modal nuklir.
Yang jadi soal, kenapa keempat pengetahuan ini tak menjadi inti kurikulum kita di sekolah, baik formal, informal maupun nonformal. Pantas jika kekayaan itu belum menjadi milik kita. Sebaliknya terus menjadi kekayaan penjajah penjarah yang tidak tak terhentikan.
Maka, merevitalisasinya bukan hanya penting di saat genting tetapi juga merupakan revolusi yang kelima. Tentu agar transformasi negara-bangsa pancasila mengemuka. Tanpa merevitalisasinya dalam kehidupan kenegaraan, kita sesungguhnya tak layak disebut manusia. Apalagi menyebut diri sebagai negara merdeka.
Rempah adalah tumbuhan beraroma yang digunakan untuk menjeniuskan manusia. Para penikmatnya menggunakan sebagai pengawet dan bumbu dalam masakan. Dalam semua rempah terdapat saripati kehidupan yang membuat penikmatnya merasakan kehidupan adiluhung.
Karenanya, rempah-rempah digunakan untuk pengobatan, kesembuhan, rilaksasi, status sosial dan kesehatan. Rempah-rempah biasanya dibedakan dengan tanaman lain yang digunakan untuk tujuan yang mirip, seperti tanaman obat, sayuran beraroma dan buah kering. Karena fungsinya, ia merupakan barang dagangan paling berharga pada zaman prakolonial.
Rempah-rempah adalah alasan mengapa penjelajah Portugis Vasco Da Gama mencapai India dan Maluku. VOC dan Belanda menjajah Indonesia. Spanyol menjajah Pilipina, dll.
Dari rempah lah tercipta peradaban, kebudayaan dan kekuasaan.
Layaknya ‘logos’ yang menjadi awal mula pencitaan alam semesta. Rempah adalah awal mula peradaban nusantara. Rempah adalah pondasi, tiang, dinding, dan sekaligus atap. Tidak ada sendi kehidupan—pada masa tua itu—yang tidak tersentuh dan terjamah oleh rempah. Dari urusan selera di meja makan, mahkota, singgasana, sampai surga dan neraka.
Dengan rempahlah, bangsa-bangsa di nusantara bisa menjelajah dunia, berkuasa dan berjaya. Dengan datangnya imperialisme yang merampok Nusantara, membuat tidak tersisa satu biji rempah pun. Imperialisme telah merenggut rempah nusantara, baik kuantitasnya, maupun petuah dan kedigdayaan yang ada dalam setiap butir bijinya.
Rempah di jaman dulu layaknya dolar di masa kini. Rempah bukan hanya sekedar komoditas, namun juga sebagai alat tukar yang memiliki nilai yang tinggi. Dengan rempah inilah Nusantara berkuasa. Menjelajah dan mengarungi samudra. Dihormati di setiap bangsa yang disinggahi.
Dengan kekuatan yang ada dalam rempah, para kolonial menyadari bahwa untuk menaklukan nusantara mereka harus menaklukan rempah. Monopoli rempah oleh penjajah membuat bangsa kita menjadi bangsa paria. Praktek monolopi dan cara dangang yang kotor tersebut juga berakibat pada jatuhnya citra rempah di mata dunia.
Dengan hilangnya kesaktian dan pesona rempah, hilang pula supremasi dan kedigdayaan bangsa-bangsa Nusantara di antara bangsa lain di dunia. Lewat imperialisme, bukan hanya pusaka-pusaka dan harta nusantara yang diboyong ke Eropa, namun semuanya.
Imperialisme telah merenggut segalanya, kekayaan, kebanggaan, bahkan sejarah kita. Kita menjadi bangsa yang fakir, kehilangan jati diri dan kehilangan masa lalu. Cerita tentang bagaimana rempah telah mengubah dan mempengaruhi dunia adalah sebuah sejarah yang telah dihapus dari ingatan kolektif bangsa-bangsa Nusantara.
Adanya jalur rempah semakin pudar dari ingatan. Tidak banyak masyarakat Indonesia yang mengetahui bahwa dulu Nusantara memiliki jalur perdagangan yang ramai dan luas. Jalur perdagangan yang menjadikan Nusantara sebagai poros peradaban dunia. Jalur yang menyatukan Barat dan Timur, dan mempertemukan ratusan kebudayaan dan tradisi dari berbagai benua.
Akibat kuasa diskurus orientalisme, sejarah tentang imperium Sriwijaya juga hanya dijadikan mitos. Bangsa Nusantara telah lupa akan kebesaran nenek moyang mereka. Kita telah lupa akan fakta bahwa Sriwijaya telah menguasai laut dengan armadanya yang kuat dan telah melakukan perdagangan global dengan menjadikan rempah sebagai komoditas andalan. Bangsa kita ini telah dijauhkan dari berbagai hal tentang laut. Kita bukan lagi menjadi kekuatan utama maritim dunia.
Sejak ribuan tahun lalu, rempah nusantara telah menghangatkan dinginnya benua di utara, menyembuhkan penyakit-penyakit di wilayah belantara, mengkultusakan ritual-ritual di setiap agama. Kala itu, tidak ada suatu bangsa pun yang tidak membutuhkan rempah. Dengan rempah yang berlimpah, dan penguasaan atas laut, membuat Sriwijaya menjadi imperium yang sangat adidaya.
Sudah saatnya kita belajar dari sejarah. Bangsa yang tidak memiliki sejarah adalah bangsa yang tidak memiliki masa depan. Oleh karena itu, kita harus mengenal sejarah sebagai refleksi dan motivasi dalam membangun masa depan. Dalam Pameran Kedatuan Sriwijaya dan Jalur Rempah, kita belajar bahwa kita adalah bangsa maritim yang besar, berperadaban dan bermartabat.
Lebih dalam dari rempah adalah herbal. Ia adalah tanaman atau tumbuhan yang mempunyai kegunaan atau nilai lebih dalam pengobatan. Dengan kata lain, semua jenis tanaman yang mengandung bahan atau zat aktif yang berguna untuk pengobatan bisa digolongkan sebagai herbal.
Herbal disebut juga sebagai tanaman obat, sehingga dalam perkembangannya dimasukkan sebagai salah satu bentuk pengobatan alternatif yang tak punya efek samping. Rempah dan herbal merupakan kekayaan abadi yang kita punyai. Dari keduanya, potensi kekayaan yang dapat kita peroleh adalah 500 Triliun per tahun.
Di luar rempah dan herbal, kita juga pemilik kandungan emas dan nuklir yang besar. Emas adalah unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki simbol Au (bahasa Latin: ‘aurum’) dan nomor atom 79. Sebuah logam transisi (trivalen dan univalen) yang lembek, mengkilap, kuning, berat, malleable dan ductile.
Emas tidak bereaksi dengan zat kimia lainnya tetapi terserang oleh klorin, fluorin dan aqua regia. Logam ini banyak terdapat di nugget emas atau serbuk di bebatuan dan di deposit alluvial dan salah satu logam coinage. Kode ISOnya adalah XAU. Emas melebur dalam bentuk cair pada suhu sekitar 1000 derajat Celsius.
Jalur penjajahan purba membuat emas yang kita punya kini membuat mereka kaya raya. Potensinya bila kita kuasai dan miliki sekitar 1000 Triliun per tahun.
Jika emas menjadi idola penjajah dalam mendesain keuangan dan perbangkan dunia, maka nuklir ditempatkan sebagai alat dominasi dan perang tercanggih. Nuklir kini bahkan dijadikan alat ukur dari kemajuan suatu bangsa.
Padahal, itulah sumber daya kita yang murah dan menentukan di masa kini, tetapi juga dikuasai bangsa lain. Nuklir adalah sumber energi yang mendapat tenaganya dari reaksi yang melibatkan inti atom (nuclei). Secara umum, sumber energi nuklir dapat dibagi menjadi tiga: nuklir fisi, nuklir fusi dan nuklir kombinasi fisi dan fusi. Senjata nuklir fisi ditenagai oleh reaksi fisi nuklir dan senjata nuklir fusi ditenagai oleh reaksi fusi nuklir. Sedangkan senjata nuklir kombinasi ditenagai oleh kombinasi antara reaksi fisi dan fusi nuklir.
Unsur yang sering digunakan dalam reaksi fisi nuklir adalah plutonium dan uranium (terutama Plutonium-239, Uranium-235). Sedangkan dalam reaksi fusi nuklir adalah lithium dan hidrogen (terutama Lithium-6, Deuterium, Tritium). Indonesia adalah pemilik ladang eksplorasi uranium, yaitu tambang Remaja-Hitam dan tambang Rirang-Tanah Merah. Kedua ladang uranium tersebut terletak di Kalimantan Barat.
Indonesia juga memiliki cadangan nuklir jenis thorium hingga 280.000 ton yang tersebar di beberapa pulau, antara lain Bangka-Belitung. Dibandingkan uranium, thorium memiliki beberapa kelebihan, terutama dari sisi dampak lingkungannya. Potensi pemasukan dari sektor energi nuklir mencapai 1500 Triliun per tahun.
Tak ada jalan mudah. Tak ada jalan murah. Terlebih ketika beberapa kekayaan itu dikuasai asing dan aseng. Perlu pikiran, ucapan, tulisan dan tindakan spektakuler dan sangat berani dari seluruh pimpinan bangsa untuk menasionalisasi kekayaan emas dan sejawatnya.
Singkatnya, menjadi negara merdeka tak lain dan tak bukan adalah memiliki dan mengendalikan proyek empat jalur penting: rempah, herbal, emas dan nuklir. Tanpa itu, jangan bilang sudah berdaulat.(*)